Kisah kunjungan Abuya Prof.Dr.Sayyid Muhammad bin Alawi Almaliki Alhasani ke Lombok.
Photo dari MajalahNabawi.com |
Awal juli tahun 1986 silam, seorang ulama besar Kota Makkah yang masyhur di Dunia internasional, Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki melakukan safari dakwah ke Indonesia. Beliau memang memiliki banyak murid di tanah air. Termasuk murid dari pada walid beliau, Sayyid Alawi Al-Maliki. Satu diantara murid dari walid beliau adalah, Maulana Syekh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Pendiri organisasi massa terbesar di Nusa Tenggara Barat yaitu Nadhaltul Wathan (NW).
Abuya – biasanya Sayyid Muhammad bin Alawi dipanggil oleh para muridnya – pada safari kali ini berkomitmen berkunjung ke Lombok untuk menemui Maulana Syekh. Mendengar kabar bahwa Abuya sudah berada di Surabaya, Maulanasyekh mengutus salah seorang muridnya sebagai duta untuk “menagih” komitmen Abuya. Murid itu adalah TGH. Muhammad Thahir Azhari asal Merang Praya, walid (Bapak penulis sendiri).
Walid sempat tidak percaya diri pada awalnya karena banyak murid Maulanasyekh yang lebih cakap dan hebat dibanding dirinya. Terlebih lagi tamu yang akan datang ini adalah seorang ulama caliber internasional. Seorang Alim Allamah, Muhaddits, Muarrikh, dan ahli dalam hampir semua disiplin ilmu keislaman. Ia berhusnuzhan, mungkin karena dirinya sering bolak-balik Lombok – Surabaya untuk urusan bisnis, sehingga ia dianggap sudah hafal kota Pahlawan tersebut. Namun, tentu amanah (kepercayaan) dari sang Maha Guru, yaitu Maulanasyekh sendiri tidak boleh disia-siakan. Akhirnya berangkatlah walid seorang diri ke Ibu kota Provinsi Jawa Timur itu.
Walid (TGH. M. Thahir) menceritakan kepada penulis, “Bapak pertama jumpa Abuya (Sayyid Muhammad) dirumah murid beliau, KH. Muhiddin Nur di Panda ana’an, Surabaya. Ditunjukkan oleh seorang yang bernama bin Hood. Ketika tahu kalau Bapak utusan dari Lombok, saat itu Bapak sedikit dihalangi oleh sebagian murid beliau, karena mereka sudah menyusun jadwal Abuya yang cukup padat di Jatim. Tapi bapak berusaha menerobos, bahkan hingga berdebat sampai akhirnya diterima langsung oleh Abuya.”
Respon Abuya sangat baik saat muwajahah dan setelah menyampaikan salam Maulanasyekh sambil Bapak memohon agar jadwal kunjungan ke Lombok yang sudah dijanjikan oleh beliau dapat dipenuhi dengan alas an bahwa Maulanasyekh sudah mengumumkan kepada warna NW di hampir semua madrasah. Akhirnya Abuya menyanggupi dengan syarat disipkan tiket pesawat (tujuannya demi melihat kesungguhan maksud dari penjemput), tanpa berfikir panjang, Bapak menyanggupi.”
Walid melanjutkan kisahnya, “Pagi-pagi buta sebelum jam 8 kantor Garud Airlines dibuka, bapak sudah menunggu. Alhamdulillah Bapak dapat tiket untuk 6 orang untuk keberangkatan hari itu juga. Turut mendampingi Abuya, KH. Ihya’ Ulumuddin (Pimpinan Hai’ah Ash Shofwah Malikiyyah pusat), Habib Hamid selaku pimpinan ponpes Daru Sholihin Pasuruan dan beberapa murid senior yang Bapak lupa namanya.
Mendaratlah Abuya bersama rombongan di Bandara Selaparang Lombok. Dari sana langsung bertolak
ke Pancor Lombok Timur. Pancor adalah pusat organisasi NW. Abuya dan rombongan diterima di Musholla Al-Abraor dimana Maulanasyekh beserta ribuan jama’ah NW sudah menanti kedatangan Abuya. Turut menyambut saat itu Ketua Umum PBNW, Bapak Drs. H. Lalu Gede Wiresentane, Amid MDQH, TGH. Lalu M. Yusuf Hasyim, beserta seluruh masyaikh MDQH dan para asatizh di lingkungan Pondok Pesantren Darun Nadhlatain Pancor.
Dalam kesempatan tausiyah yang diterjemahkan KH. Ihya Ulumuddin – kenang Bapak, Abuya menyatakan bahwa tidak ada seorang pun ahli ilmu di kota suci Makkah, baik thullab maupun ulamanya yang tidak kenal ketinggian ilmu Syaikh Zainuddin. Beliau adalah ulama besar yang bukan hanya milik ummat Islam sedunia. Abuya juga menganjurkan agar Thullab NW jangan takut belajar hingga ke luar negeri, namun dengan syarat tetap memegang teguh Mazhab Ahlu Sunnah. Ambil ilmu seluas-luasnya, tapi jangan lupa pada aqidah yang diajarkan guru besar NW, Syekh Zainuddin Abdul Madjid.
Walid pun ingat, bahwa di antara yang turut menyimak tausiyah Abuya pada saat itu adalah salah seorang cucu Maulanasyekh yang duduknya tidak terlalu jauh dengan Abuya seraya memperkenalkannya, “Abuya, anak ini adalah salah satu cucu dari Maulanasyekh, namanya Muhammad Zainul Majdi” Abuya saat itu tersenyum simpul seraya mendoakan kebaikan untuknya. Usinya sang cucu waktu itu 14 tahun, masih duduk di bangku Madrasah Mualimin Pancor. Kini ia menjabat Gubernur NTB selama 2 periode.
Abuya Sayyid Muhammad terkenal dengan sifat sakho’nya (dermawan). Beliau kerap memberi hadiah berupa uang atau kitab karya beliau kepada tamu atau murid-muridnya. Pada kesempatan kunjungan waktu itu, padahal kedudukan beliau sebagai tamu, beliau memberikan bantuan Rp. 5 juta kepada Maulanasyekh untuk kepentingan NW. lantaran gembiranya Maulanasyekh menerima sumbangan (hadiah), beliau memperlihatkan hadiah itu kepada murid-murid dan keluarganya, “No gitak, mauk aku hadiah lekan bijen gurungku” (lihat, ini saya dapat hadiah dari putra guruku)
Sumber Gambar: Situs Nahdlatul Wathan Online |
Menjelang kembali, abuya diajak keliling ke rumah-rumah beliau, baik yang di Bermi maupun di Toko kita. Abuya diajak juga ziarah ke Masjid Pancor. Setelah itu Abuya menjanjikan sumbangan untuk masjid, dan nantinya benar-benar dipenuhinya. Pada kesempatan di mana walid mengantar Abuya kembali ke Surabaya, uang sumbangan itu dititip melalui walid. Uang itu walid serahkan kepada Maulanasyekh. Pada kesempatan itu Maulanasyekh berujar, “Kalau sumbangan ini dititip melalui orang lain, uang ini bisa jadi berkurang” langsung dihari itu juga Maulanasyekh memanggil pengurus masjid untuk menerima sumbangan Abuya. Abuya juga menitipkan kepada walid 40 kitab lebih karangan beliau sebagai “Hadiah tanda cinta” untuk Maulanasyekh. Masing-masing judul sejumlah 5 eksemplar.
Kunjungan Abuya pada tahun itu merupakan kunjungan pertama dan terakhir. Beliau tidak sempat lagi mengunjungi pulau Lombok. Semoga ke depan, ada keturunan atau kerabat dari Abuya yang melanjutkan jalinan silaturrahim itu kembali. Demikian harapan walid dan kita semua.
Bapak Maulanasyekh sendiri menuturkan bahwa dirinya adalah murid Sayyid Alawi, walid dari Abuya. Sayyid Alawi selalu meminta doa kepada hadirin di majelis untuk anak-anaknya. Sehingga dengan izin Allah banyak dari dzurriyatnya menjadi ulama dan da’i. demikian pula dengan Bapak Maulanasyekh, tradisi itu ditirunya. Beliau kerap kali dalam beberapa kesempatan memintakan doa untuk kedua putrinya dan keturunannya. Persis seperti gurunya, Sayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki
Hubungan antara kedua ulama besar ini terus terjalin harmonis. Sering kali Maulanasyekh menitipkan salam dan barang tertentu sebagai hadiah untuk Abuya, seperti sarung, surban, dan pakaian. Dan begitu pula sebaliknya, Abuya memberi kitab karya beliau. Setiap kali ada peziarah atau murid asal Lombok yang mengunjungi kediaman Abuya, beliau selalu bertanya, “Apakah anda kenal sahabatku, Syaikh Zainuddin? Hubungan kedua ulama ini terus berlanjut hingga akhirnya Maulanasyekh wafat tahun 1999. Adapun Abuya wafat tahun 2004. Semoga kita semua dikumpulkan kelak di surgaNya Allah bersama Nabi Muhammad SAW dan mereka semua. Amiin Yaa Robb.
Sumber : Ust.
Habib Ziadi