REFORMASI MASA PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE (1998-1999)

B.J. Habibie adalah pengganti langsung setelah tumbangnya kekuasaan Orde Baru. B.J. Habibie pada pemerintahan terakhir Orde Baru merupakan seorang wakil presiden. Setelah Orde Baru tumbang maka beliau yang ditunjuk mengampu jabatan sebagai presiden sebelum diadakan pemilu. Habibie adalah satu-satunya presiden di Indonesia yang tidak memiliki wakil presiden. Tugas Habibie sangatlah berat karena beliau mengemban amanah reformasi masa transisi dari pemerintahan Orde Baru. Beliau dilantik menjadi presiden pada tanggal 21 Mei 1998.

Saat naik jabatan presiden, beliau menghadapi situasi Indonesia yang begitu parah, baik dari bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Dalam pemerintahannya, beliau membuat kabinet beranggotakan 16 menteri yang diambil dari jajaran ABRI, Golkar, PPP, dan PDI. Kabinetnya pimpinannya dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan yang dilantik 22 Mei 1998.

Dalam bidang perekonomian, Habibie melakukan beberapa tindakan. Hal-hal yang dilakukan Habibie dibidang ekonomi, antara lain:
1. Merekapitulasi perbankan
2. Merekontruksi perekonomian Indonesia
3. Melikuidasi beberapa bank bermasalah
4. Menaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga di bawah Rp.10.000.00
5. Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh IMF

Pada masa Presiden Habibie, politik di Indonesia dijalankan dengan cara transparan. Selain itu, Presiden Habibie juga berhasil menyelenggarakan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Oleh karena itu, dapat dikatakan pemilu yang demokratis. Habibie juga membebaskan beberapa narapidana politik yang ditahan pada masa pemerintahan Soeharto. Presiden juga mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independen. Berikut beberapa hal yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Habibie.

a. Kebebasan menyampaikan pendapat
Hal ini diwujudkan dengan memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk mengadakan rapat-rapat umum dan melakukan demonstrasi. Khusus untuk demonstrasi, hendaknya memberitahu dan mendapat izin dari pihak kepolisian terlebih dahulu. Hal ini berkaitan waktu dan tempat akan dilakukunnya demonstrasi. Perizinan ini mengacu pada UU No. 28 Tahun 1997 tentang kepolisian Republik Indonesia. Untuk menangani unjuk rasa sendir, kepolisian menggunakan aturan yang berbeda-beda karena belum ada aturan secara khusus yang mengatur masalah ini. Sedangkan untuk menjamin kepastian hukum bagi para pengunjuk rasa, pemerintah dan DPR mengeluarkan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

b. Masalah Dwifungsi ABRI
Pada masa pemerintahan Presiden Habibie, ABRI terus melakukan pembaharuan menyangkut perannya di bidang sosial dan politik. Salah satunya adalah mengurangi jumlah kursi ABRI di DPR yang sebelumnya berjumlah 75 orang menjadi 38 orang. Langkah lain adalah memisahkan POLRI dan ABRI pada tanggal 5 Mei 1999 dan nama ABRI kemudian dihapuskan. Jadi, ABRI pecah menjadi dua, yaitu TNI dan POLRI. TNI sendiri terdiri dari TNI angkatan darat, TNI angkatan laut, TNI angkatan udara.

c. Reformasi bidang hukum
Pemerintahan Presiden Habibie juga melakukan reformasi di bidang hukum. Hukun di Indonesia di ubah dan disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Hal ini tentu mendapat tanggapan yang sangat positif masyarakat Indonesia. Hukum masa Orde Baru sendiri sangat mengekang kebebasan masyarakat.

d. Sidang Istimewa MPR
Pada perjalanan sejarah bangsa Indonesia sampai masa Habibie, telah dua kali MPR melakukan Sidang Istimewa. Pertama, adalah masa Orde Lama, di mana diselenggarakan tahun 1967 yang menghasilkan pemberhentian Soekarno sebagai presiden dan mengangkat Soeharto sebagai presiden. Sidang Istimewa MPR yang kedua adalah pada masa pemerintahan Presiden Habibie, yaitu pada tanggal 10-13 November 1998. Sidang waktu itu membahas mengenai reformasi di tubuh MPR sendiri. MPR kemudian menghasilkan tiga undang-undang di bidang politik, yaitu sebagai berikut:
1) Undang-undang No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik
2) Undang-undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
3) Undang-undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR

e. Pemilihan Umum tahun 1999
Pemilihan umum pada masa presiden Habibie dilaksanakan pada tahun 1999. Pemilu ini diharapkan menjadi ajang pesta demokrasi rakyat yang benar-benar demokratis. Presiden kemudian menetapkan tanggal 7 Juni sebagai hari pelaksanaan pemilu tersebut. Selanjutnya lima paket undang-undang tentang politik dicabut. Sebagai gantinya, DPR berhasil membuat tiga undang-undang politik baru. Ketiga undang-undang itu disahkan tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani Presiden Habibie. Ketiga undang-undang itu, antara lain: undang-undang partai politik, pemilihan umum, dan susunan serta kedudukan MPR, DPR, serta DPRD. Ketiga undang-undang ini dapat diterima dengan baik dan kemudian bermunculan banyak sekali partai politik. Tercatat muncul tidak kurang dari 112 parpol, namun yang lolos seleksi menjadi peserta pemilu hanya 48 parpol.

Pelaksanaan pemilu diatur oleh sebuah lembaga yang bernama KPU (Komisi Pemilihan Umum). Anggota KPU terdiri dari wakil pemerintah, maupun wakil parpol. Pada hari pelaksanaan pemilu pun berjalan dengan lancar dan aman, bahkan sampai selesai perhitungan suara juga lancar dan aman. Hasil pemilu pun dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Hasil lima besar pemilu waktu itu, diantaranya PDI Perjuangan, Golongan Karya (GOLKAR), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

f. Sidang Umum MPR hasil pemilu 1999
Setelah KPU berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR, maka segera MPR mengadakan Sidang Umum pada tanggal 1-21 Oktober 1999. Pada sidang itu Amien Rais dikukuhkan menjadi ketua MPR dan Akbar Tanjung dikukuhkan menjadi ketua DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dangan 355 suara menolak, 322 menerima, 9 abstain, dan 4 suara tidak sah. Akibat penolakan itu, Habibie tidak dapat mencalonkan diri sebagai presiden kembali. Pada pemilhan presiden, ada tiga calon yang di ajukan fraksi-fraksi di MPR, yaitu Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Yusril Izha Mahendra, namun kemudian Yusril Izha Mahendra mengundurkan diri pada tanggal 20 Oktober 1999.

Dari hasil voting pemilihan presiden, yang menang adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada tanggal 21 Oktober 1999, dilaksanakan pemilihan wakil presiden dengan calon Megawati Soekarnoputri. Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri akhirnya menjadi pasangan presiden dan wakil presiden setelah pemerintahan Habibie. Pada tanggal 25 Oktober 1999, kedua pasangan ini membentuk Kabinet Persatuan Nasional.

g. Lepasnya Timor Timur dari NKRI
Perubahan politik yang terjadi di Indonesia pasca Orde Baru membuka babak baru bagi penyelesaian masalah Timor Timur. Presiden Habibie menawarkan Otonomi luas bagi rakyat Timor Timur. PBB dan Portugal menyambut baik usulan ini. Pada 5 Mei 1999, Indonesia dan Portugal menandatangani paket otonomi Timor Timur yang membuka jalan sekitar 800.000 rakyat Timor Timur untuk menentukan masa depan mereka. Jika paket itu diterima , maka Timor Timur akan tetap menjadi bagian dari NKRI, namun jika ditolak, maka Timor Timur akan merdeka.

Jajak pendapat dilakukan pada tanggal 31 Agustus 1999. Sekjen PBB Kofi Annan mengumumkan hasil jajak pendapat 4 hari lebih cepat dari yang dibicarakan banyak pihak. Tanggal 4 September 1999, dalam sidang Dewan Keamanan PBB, Kofi Annan mengumumkan bahwa 78% rakyat Timor Timur menolak paket otonomi luas yang ditawarkan oleh Indonesia. Hanya 21,5% yang menerima hal tersebut. MPR kemudian mengesahkan hasil jajak pendapat tersebut pada tanggal 19 Oktober 1999. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari NKRI. Pada tanggal 20 Mei 2002, Timor Timur secara resmi merdeka dengan nama Republik Demokratik Timor Leste.

Peristiwa lepasnya Timor Timur ini oleh masyarakat Indonesia dianggap kesalahan terbesar dalam pemerintahan Habibie. Seharusnya Habibie sebagai presiden mampu mempertahankan Timor Timur, padahal saat beliau di angkat sebagai presiden telah di ambil sumpahnya agar mampu menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI. Oleh karena itu, pertanggung-jawaban beliau di akhir jabatannya pada sidang Paripurna MPR di tolak sehingga tidak dapat mencalonkan diri sebagai presiden kembali.