Kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif tetap relevant

Disampaikan pada seminar roundtable ilmiah yang bertemakan "Membangun Strategi Keseimbangan Kekuatan dalam Kerangka Reaktualisasi Kebijakan Luar Negri dan Asing Indonesia" yang diselenggarakan oleh Global Future Institute (GFI) bekerja sama dengan mahasiswa Fakultas Hubungan Internasional Universitas Nasional yang menjadi anggota Vox Muda, Senin (5/12/2016) di Jakarta.


Terima kasih untuk (memberi saya) kesempatan, Duta Besar Urip yang terhormat, dan teman-teman saya atas masukan Anda sebagai pendapat yang muncul di permukaan. Jika kita, dari pusat studi, dapat melihat apakah masa depan kebijakan atau dapatkah kita menjelaskan fenomena yang ada untuk dipahami secara konseptual atau bagaimana cara mempraktikkannya. Terkadang, konsep itu ideal tapi tidak bisa dipraktekkan. Harus ada penjelasan untuk itu. Atau misalnya, konsep apa yang dilakukan sekarang dan bagaimana penjelasannya.

Saya mencoba menggambarkan beberapa syarat bagaimana politik manajemen di era Presiden Joko Widodo. Perubahan apa dan apa yang mungkin berbeda, namun beberapa teman sudah memetakan bagaimana harapan dan bagaimana fakta tersebut muncul ke publik. Kedua, tantangan yang dihadapi negara kita, situasi global, perkembangan apa yang sedang terjadi.

Mungkin, ketiga, mengharapkan untuk mengetahui bagaimana kita melihat situasi global yang ada dan bagaimana jadinya di masa depan.

Pertama, saya setuju dengan pernyataan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia yang mengatakan bahwa tidak pernah melupakan sejarah, karena sejarah kita dapat eksis dan apa yang kita lakukan di masa lalu menentukan kita pada saat ini, apa yang kita lakukan hari ini menentukan masa depan kita.

Jadi Pak Dahnil Anzar Simanjuntak, ketua Dewan Pimpinan Pemuda Muhammadiyah meminta pentingnya literasi sejarah bahwa jika kita memahami kebijakan luar negeri kita, jangan pernah melupakan bapak pendiri kita. Nah, kebijakan luar negeri di seluruh dunia sangat ditentukan oleh lokasi geografis negara tersebut.

Jadi, jika itu adalah benua kontinental, politiknya kontinental. Lalu kalau di linelock, itu akan di linelock. Kemudian jika sebuah negara kepulauan besar seperti Indonesia dan berhadapan dengan posisi zona penyangga, Indonesia juga akan ditentukan olehnya. Jadi, suka atau tidak suka, saya ingin mengikuti kebijakan luar negeri AS atau saya tidak ingin kebijakan luar negeri Singapura itu kecil, tapi karena kita juga lahir dan besar di dalam negeri maka kita menjalani kebijakan politiknya.

Dengan demikian, pemerintah akan mengawasi apa kepentingan nasional. Jadi, terkadang ada sesuatu yang ideal, ada kenyataan, tapi bagaimana cara mendefinisikannya. Bila kita melihatnya secara konseptual atau realitas di lapangan, minat nastional harus diperhitungkan. Jadi, tidak ada musuh permanen, tapi tetap kepentingan permanen.
Jadi, kemudian naik turunnya pemerintahan kita baik ke barat maupun ke timur, semua itu bisa dijelaskan dari era Soekarno, Soeharto sampai Pak Joko Wdodo.

Jadi jika kita melihatnya dalam perspektif ini, yayasannya ada dalam Pembukaan UUD 1945, terutama di paragraf 4, maka itulah landasan konstitusi kita dalam kebijakan luar negeri, bahwa Indonesia akan melihat ke dalam, tapi kita akan melihat ke luar . Kami akan berkontribusi menciptakan perdamaian dunia. Kami akan berpartisipasi dalam membangun tatanan dunia. Karena itulah fokus perhatian kita dan kita tidak akan peduli dengan apa yang sedang terjadi di berbagai belahan dunia. Termasuk kontribusi Indonesia dalam memperjuangkan Palestina sebagai negara merdeka. Demikian juga kontribusi kami di bidang politik global.

Dengan demikian Indonesia akan selalu melihat ke luar. Demikian juga, ketika Presiden kita, Tuan Widodo telah mewujudkan apa yang disebut Trisakti (Kedaulatan Politik, Kemasyarakatan Ekonomi, dan Kepribadian Budaya), yang kemudian dituangkan dalam agenda Wawacita. Kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif sebenarnya tidak berubah namun sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Dengan pendirian ini, kebijakan luar negeri kita yang bebas dan aktif tetap independen, dapat dipertahankan dan dapat diterapkan.

Baru sekarang, fokus perhatian pemerintah Presiden Jokowi ada di bidang kelautan. Kami fokus pada pembangunan sumbu maritim Dunia. Ini jelas telah menegaskan kembali arah Indonesia yang berniat menjadi poros yang menyelaraskan dirinya dengan identitas kita sebagai sebuah bangsa, yang terletak di tengah utara, selatan, timur, barat, dan semua kepentingan pasti ada di dalamnya. Namun, kami menyatakan diri berada di tengah berbagai kepentingan, kami katakan ini adalah kepentingan nasional kami. Sambil memaksimalkan posisi strategis kami dan memanfaatkan nilai atau kekuatan maritim semata-mata untuk kepentingan nasional Indonesia.

Jadi, itu sebenarnya penegasan kembali kebijakan luar negeri kita. Nah, kalau dilihat dari namanya Trisakti, Nawacita, kebijakan luar negeri kita hingga 2019, Kementerian Luar Negeri telah menetapkan empat prioritas kita. Seperti menjaga kedaulatan, melindungi warga negara, melakukan diplomasi ekonomi dan menegaskan identitas kita sebagai bangsa maritim dan yang terakhir adalah aktivitas kita dalam politik internasional di kawasan ini. Itu sudah jelas. Dengan demikian kita sudah bisa melihat arah masa depan sebuah kontinuitas dalam menerapkan prinsip-prinsip kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif. Baru sekarang kita lebih menonjolkan identitas Indonesia sebagai negara maritim.

Inilah prioritas Indonesia sekarang. Jadi, ketika menyatakan bahwa diplomasi untuk rakyat tidak berarti diplomasi bagi masyarakat, namun penekanannya adalah kenyataan bahwa kebijakan luar negeri sebenarnya merupakan perpanjangan kepentingan domestik. Penting untuk dipahami, karena kita tidak pernah bisa mengharapkan kebijakan luar negeri yang hebat, berpengaruh, berpengaruh bila kita tidak memiliki kapasitas nasional di negara ini.

Presiden kita Pak Jokowi yakin akan hal itu. Jadi pemerintah memang peduli dengan kebijakan luar negeri, namun bila kita tidak memiliki kapasitas nasional untuk mempengaruhi kekuatan domestik kita, maka tidak mungkin kita akan mempengaruhi negara lain.
Kita tergabung sebagai salah satu dari G-20, tapi bolehkah kita bertanya lagi sebagai negara anggota G-20 untuk mengetahui kapasitas nasional kita yang diharapkan oleh negara lain? Misalnya, jika kita ingin melihat Afrika, kita memiliki ketertarikan pada Afrika, memang memang benar. Tapi pertanyaannya adalah, apakah sekarang waktunya atau tidak?

Kami memiliki agen promosi terpadu, kami mencoba sesuatu ke Afrika, kami telah menyatakan kepada pemangku kepentingan domestik agar tidak lebih fokus pada ungkapan tradisional kami. Kita hanya melihat apa yang ada di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan kemudian China dan Jepang. Memang benar fakta di lapangan, setelah 50 tahun republik indonesia, hanya ada kemitraan dengan keempat negara.

Nah sekarang, apakah wirausahawan kita mencoba untuk melihat wilayah Afrika, atau kita mencoba menjajaki kemungkinan kemitraan dengan negara-negara Timur Tengah? Bila mereka tidak ingin mencoba ke arah itu, maka di bidang perdagangan dan kepentingan ekonomi, kita tetap akan mengandalkan lima sampai sepuluh negara tertentu.

Oleh karena itu kita perlu mempertimbangkannya. Akankah kita memiliki diversifikasi di bidang ekonomi perdagangan? Akankah kita melakukan diversifikasi di bidang investasi? Akankah kita mengirim siswa ke tempat-tempat yang berbeda dari yang kita lakukan dalam 50 tahun terakhir? Jadi orang kita berpikir tidak mudah terkontaminasi seperti orang Amerika.

Nah, kalau misalnya murid kita tidak mau belajar di berbagai tempat dalam 50 tahun terakhir yang selalu menjadi tujuan siswa kita, saya rasa akan sulit juga bagi kita untuk mengubahnya.

Atau bolehkah kita membayangkan kita memiliki Bantuan Indonesia seperti Amerika dengan USAID, Australia dengan Australian Aid? Akankah kita memiliki tubuh seperti itu? Sehingga kementerian akan memobilisasi berbagai sumber nasional sehingga kita bisa menunjukkan bahwa kita memiliki tujuan untuk membangun pengaruhnya di negara lain.

Jadi melalui Indonesia Aid kami didirikan, karena negara anggota G-20 Indonesia memiliki kapasitas nasional untuk memberikan beasiswa, menyediakan kapasitas transfer teknologi, memberikan bantuan ekonomi ke negara-negara yang, menurut kami, berada di bawah diri kita sendiri. Akankah dan bisakah kita menjadi seperti itu? Kita memiliki kapasitas nasional atau tidak? Karena jika kita tidak memiliki kapasitas nantinya negara lain akan mengatakan, Indonesia tidak ada tindakan, hanya bicara.

Tapi, yang sebenarnya adalah kita butuh beasiswa bagi mahasiswa pertanian. Nah, sekarang misalnya kita memberi beasiswa, Kementerian Pendidikan memberikan beberapa beasiswa, Kementerian Luar Negeri menyediakan beberapa beasiswa, Bappenas juga menyediakan beasiswa, tapi semuanya tidak memberikan kuota lagi. Akankah semua beasiswa itu dibuat?

Serta promosi perdagangan, pariwisata dan investasi yang disampaikan oleh presiden kita, disatukan dan dibuat besar. Nah, ini butuh kesepakatan semua pihak. Jika memang visi kita sebagai negara besar diarahkan untuk melakukan yang hebat dan melakukan sesuatu dengan kapasitas yang besar. Nah, inilah yang kita lihat untuk masa depan negara kita.

Dalam hal tantangan global, jika kita ingin memahami Kementerian Luar Negeri geo-politik dan geo-ekonomi, akan selalu menyesuaikan diri dengan konteksnya. Misalnya, semua berubah saat Perang Dingin berakhir. ASEAN berubah setelah tahun 1990an, jadi kami perlu menormalisasi hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina. Demikian juga, dalam hubungan kita dengan Rusia, dan negara-negara lain. Semua berubah karena konteks yang berbeda.

Jadi, jika sekarang ada pergeseran geopolitik ke Asia Pasifik, bagaimana arah kebijakan luar negeri AS, seperti apa bentuknya, jadi kita akan menunggu Amerika mengubah apa atau bagaimana keadaannya, mengikuti presiden terpilih Donald Trump. Begitu pula dengan China, kemudian, dan bagaimana wilayah kita dalam interaksinya dengan negara-negara Eropa Barat.

Tentunya masalah geopolitik dan geo-ekonomi juga akan menentukan kebijakan luar negeri kita, negara kita dan pemerintah kita. Kita bisa rasional, realistis, dan bisa idealis juga. Sebelumnya ketua Pemuda Muhammadiyah menyatakan bahwa kepentingan nasional kita bisa disalurkan dengan baik, pastinya pemerintah akan menjalankannya. Tetapi jika kepentingan nasional Indonesia tidak bisa dilaksanakan secara optimal melalui Organisasi Kerjasama Islam (OKI), pemerintah mungkin melihat ke arah lain. Nah, jika dilihat apa yang terjadi di OKI dari waktu ke waktu, bagaimana pertarungan yang terjadi di sana, apakah itu produktif untuk Indonesia atau tidak?
Mungkin itu akan menjelaskan mengapa dari satu periode ke periode terakhir, OKI belum maksimal misalnya. Nah, kalau misalnya, Indonesia akan masuk ke sana, tingkat aksesibilitas ke Indonesia juga akan diuji. Apakah kita memiliki aset? Kita juga akan diuji apakah Indonesia cocok menjadi mediator dan bisa berperan sebagai pembangun perdamaian?

Kami sebagai negara kekuatan menengah, mandat kami akan diuji di sana. Memang, kita bisa menjembatani berbagai aspirasi forum OKI. Tentu kita bisa menerimanya. Jika kita bisa berbicara tentang masalah Palestina, maka peran mediator dan pembangun perdamaian akan diterima oleh banyak pihak, yang berarti Indonesia akan diterima. Tapi, misalnya, jika tidak bisa diterima maka cara lain harus segera dilakukan.

Misalnya, kita bisa memaksimalkan organisasi tertentu untuk menjadi tempat yang bisa mengakomodasi kepentingan nasional kita. Seperti halnya dengan ASEAN. Sebelumnya salah satu pembicara menyatakan bahwa ASEAN menjadi kendala bagi kami. Yang jelas, ASEAN adalah produk kebijakan luar negeri kita. Untuk semua kebijakan luar negeri di seluruh dunia, selalu menempatkan secara geografis atau memprioritaskan lingkungan sekitar.

Jadi jarang ada yang mengatakan bahwa teman-teman yang jauh menjadi jangkar utama dalam hubungan luar negeri. Biasanya akan diperkuat oleh negara perbatasan, atau tetangga. Jadi, memprioritaskan ASEAN bukanlah pilihan kita tapi merupakan kebutuhan. Bahwa prioritas kebijakan luar negeri kita adalah Asia Tenggara, ASEAN. Hal ini penting bagi kita. Seperti yang telah dibilang, jika misalnya Amerika Serikat mengusulkan sesuatu kemudian Rusia akan menolaknya, jika Pakistan mengusulkan sesuatu, India akan menolaknya. Tapi kalau misalnya Asia Tenggara disuarakan oleh ASEAN, semua pihak bisa menerimanya.

Jika itu cara terbaik, maka netralitas ASEAN menjadi penting bagi kita untuk masa depan. Dan bagaimana strategi untuk masa depan? Dalam konstelasi geopolitik saat ini, maka Indonesia, jika tidak hati-hati, mengingat letak geografisnya, sebagai zona penyangga kita akan lenyap.

Semua politik di dunia ini berada di zona penyangga. Zona penyangga di Timur Tengah, Suriah merupakan zona penyangga antara barat dan timur untuk memperluas wilayah pengaruhnya. Bila rezimnya tidak menentukan apa yang menjadi minat mereka, dalam ukuran apapun dari berpihak selalu ada risiko, itu bisa menang dan kalah.

Bapak pendiri kami tidak menyatakan masalah (sisi) barat dan timur, tapi mendayung di antara dua terumbu karang. Para founding fathers sepertinya telah mengantisipasi apa yang akan terjadi di masa depan. Bahwa posisi kita akan selalu menjadi medan perang di antara berbagai kepentingan banyak pihak. Jika kita tidak tahu apa yang kita inginkan, kita akan kehabisan.
Jika dalam sebuah kartun, menyerang dari kanan ke kiri, kiri ke kanan, dari atas ke bawah, kita akan sibuk dengan itu. Tetapi jika kita dapat dengan jelas menyebutkan, apa yang kita inginkan dan untuk apa kita sebagai sebuah bangsa, para pendiri kita mengatakan bahwa kita pada prinsipnya masih bebas dan aktif, yang akan mengawasi, dan menjadi kepentingan kepentingan nasional kita di lapangan. urusan luar negeri

Jadi, yang terpenting adalah melihat kepentingan nasional kita. Jadi misalnya, jika di pertahanan, sejarah menunjukkan apakah akan bergantung pada suatu negara itu baik untuk kita atau tidak, atau haruskah kita terdiversifikasi sehingga kita benar-benar bisa mandiri.

Tapi, sebelum mandiri bagaimana cara bergerak ke arah itu? Nah, pasti ada kebutuhan transfer teknologi. Kita mungkin ingin meminta transfer teknologi dari barat, tapi jika tidak, karena persyaratan tertentu yang bertentangan dengan prinsip kita, maka kita tidak dapat memenuhi persyaratan yang mereka minta. Begitu pula dari timur, mereka tidak mau, karena kondisi tertentu yang tidak bisa kita terima. Itu berarti bukan karena barat, atau karena timur, kita katakan, dengan korea selatan misalnya, jika transfer teknologi yang diberikan oleh Korea Selatan yang menjadikan sistem persenjataan utama kita (Alutsista), suatu hari nanti menjadi kita mandiri, kita pasti tidak akan menolaknya

Jadi, misalnya, jika negara melihat dari sisi itu, juga ketika kita berbicara tentang ekonomi perdagangan, terkadang pemerintah tidak mungkin bisa bebas menyuarakan hal-hal tertentu.

Karena terkadang pemerintah tidak berbicara kebenaran atau tidak benar, namun pemerintah akan melihat semua aspek bagaimana kepentingan nasional negara dapat terpenuhi. Jadi, ke depan melihat situasi global, dan kita akan melihat kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif yang masih relevan, dan akan terus dipelihara.

Dan yang terpenting adalah mempromosikan kepentingan nasional. Apa kepentingan nasional saat ini, yang akan ditempuh pemerintah. Nah, posturnya jika beberapa perdebatan mengatakan apakah terlalu berhati-hati, terlalu berhati-hati saat itu, apa yang sebenarnya dilihat oleh pemerintah adalah seperti apa semua peluang itu? Mengapa presiden kita melakukan kunjungan ke Eropa Barat? Mengapa dia harus bertemu dengan Inggris, Belanda, Jerman? Mengapa perdana menteri Belanda datang (ke Indonesia) baru-baru ini? Itu menjawab sesuatu, kita berbicara tentang statistik, teman-teman yang terlibat dalam perdagangan bisa menjawabnya. Mengapa kita harus berbicara dengan China? Statistik kami juga menunjukkan. Mengapa Jokowi harus mengunjungi AS? Ada sesuatu yang juga menjelaskannya. Begitu juga dengan pemerintah Indonesia dengan Rusia. Semua memiliki penjelasan dan alasannya.

Dalam waktu dekat dengan Inggris dan India. Di tempat ini, kita melihat bahwa presiden kita telah menjalankan kebijakan luar negeri kita yang bebas dan aktif. Jadi ada semua outriggers. Karena kita juga melihat bahwa ASEAN terus menjadi pusat kawasan kita, dan kita berharap tidak akan ada satu kekuatan dominan di Asia Tenggara karena tidak baik bagi Indonesia. Jadi, keseimbangannya adalah melibatkan semua. Dengan demikian, belakangan nama forum regional seperti ASEAN plus, maka forum regional ASEAN, KTT ASEAN Timur yang melibatkan semua pelaku regional dan superpower harus menjaga keseimbangan tersebut. Karena itulah yang kami percaya.

Kemudian, kami juga berperan aktif dalam menjaga wilayah kami. Sehingga upaya aktif yang dilakukan oleh Indonesia dalam kebijakan luar negeri kita dimaksudkan untuk menjamin stabilitas di wilayah kita. Kemudian sesuai dengan tema seminar meja bundar, yang terjadi di sini, kita perlu menegaskan bahwa ASEAN itu penting, mengapa penting, karena kebijakan luar negeri kita sejak awal sampai sekarang pada dasarnya sudah seperti itu, bebas dan aktif. Bukan karena blok Barat atau Timur tapi karena ada yang lebih penting dari itu. dan telah dilihat oleh para Founding Fathers, bahwa akan ada seseorang yang ingin memakan kita semua. Sehingga para founding fathers yakin bahwa Indonesia tidak didirikan selama 50 atau 71 tahun.

Tapi kita akan kepala selama 100 tahun seperti yang dinyatakan oleh Mr Jokowi, bahkan jika sudah seperti Amerika 200 tahun. Namun, komitmen nasional kita, komitmen kebijakan luar negeri kita, telah berusaha meyakinkan bahwa republik Indonesia berdiri tidak hanya selama 100 tahun namun bisa lebih dari 100 tahun sesuai dengan identitas kita. Itu saja terima kasih.